every word, every move, every expression has its own meaning. here I'm noting it.

Monday, August 22, 2011

Gambar Hujan dan Badai

Selamat...
er, malam menjelang pagi!

mumpung saya lagi on fire, sekalian mau nge-post ilustrasi yang sudah dibuatkan dua kawan saya yang keren di DKV yaitu Dewa Astana dan Yudha Sanjaya untuk cerita pendek saya Hujan dan Badai.

Berikut adalah gambar yang dibuatkan Dewa untuk super short story Hujan:








Cihuy, keren ya?
buat yang belum baca ceritanya, silakan di-klik link berikut Hujan

Terus, ini ilustrasi yang dibuatkan Yudha Sanjaya untuk super short story Badai:



ini jugak keren! sebenarnya saya berharap bisa melihat ekspresi si cewek, si Ran, hehehe. Mungkin nanti Yudha kalau sempat akan membuatkan saya gambar lagi? :P
buat yang belum baca ceritanya, silakan klik link berikut: Badai

Lalu, rangkaian terakhir dari Hujan dan Badai adalah short story Pelangi dan Pelangi - Epilogue
Cerita-cerita pendek ini semacam trilogi yang lebih berpusat pada rangkaian perasaan. Jadi meskipun nama tokoh yang digunakan berbeda, tapi yang menjadi inti adalah perasaan yang terdapat mulai dari Hujan, Badai, hingga Pelangi.

cerita-cerita ini lebih dulu di-upload di facebook. Kalau mau lihat komentar2nya, bisa langsung di-klik ke sini Erinda's note on facebook tinggal dipilih mau dilihat cerita yang mana sesuai judulnya.

anyway, thanks so much untuk kedua kawan saya, Dewa dan Yudha yang sudah berbaik hati membuatkan ilustrasi keren untuk cerita saya!

arigato gozaimasu!
:D

Sunday, August 21, 2011

Never Knew I Needed - Pengantar

Annyeong amigos!
Kali ini saya akan menulis pengantar cerita pendek terpanjang yang pernah saya buat dalam hidup saya, yaitu 30 halaman Microsoft Word, yang telah membuat saya gelisah 14 hari 14 malam berturut-turut, tidak enak makan, tidak enak tidur, tidak enak boker.


Yes, 30 halaman, sudah sesuai ukuran skripsi: huruf Times New Roman 12. tapi pake spasi 1.15 bukan double space, hehehe.


Nah, berhubung angka 30 itu akan membuat orang terkejut, berpikir dalam hati bahwa betapa banyak jumlahnya, saya memotong cerita Never Knew I Needed ini menjadi 3 bagian.


Mungkin cerita ini akan sedikit panjang, dan saya tidak bisa menyalahkan kalau di pertengahan merasa bosan, tapi tolong ikuti perjalanan Lukasz dan Abigail sampai akhir ya.


Terus nanti saya minta tolooooooooong banget, tolong diberi komentar. Komentar sejujur-jujurnya, kalau memang ceritanya membosankan, bilang saja membosankan. Pokoknya, saya terima segala jenis bentuk kritik!


Tolong diberikan komentar ya, soalnya saya rencananya mau mengikutsertakan blog ini dalam lomba blog kebahasaan dan sastra. 


Oh iya, dalam cerita Never Knew I Needed, ada beberapa lagu yang saya gunakan sebagai sumber inspirasi yaitu Moonlight Sonata milik Ludwig van Beethoven, Nocturne in E flat major milik Frederic Chopin, Sunshine milik Monkey Majik, dan Never Knew I Needed milik Ne-Yo.
Kali-kali aja kalo pembaca mendengar lagunya, bisa ikut terhanyut, hehehe.


Baiklah, terima kasih, kawan-kawan sekalian sudah membaca pengantar ini!
berikut adalah urutan pembagian ceritanya:
Sunshine
Moonlight
Never Knew I Needed

happy reading!

Never Knew I Needed

[previous: Moonlight]




Aku sama sekali tidak mengerti apa yang sesungguhnya tengah terjadi. Apa-apaan ini? Permainan baru dari Luke? Jenis bercandaan terbaru? Lelucon paling mutakhir? Pembodohan berkedok? Apa? Apa??

      What exactly are you looking for, Abigail?

Kalimatnya terus terngiang-ngiang di kepalaku. Mau tidak mau aku memikirkannya. Sejujurnya aku bahkan tidak tahu apa yang sedang kucari.
      Siapa yang aku tunggu?
      Aku tidak pernah benar-benar mengerti diriku sendiri.
     
      Jangan pergi, Abigail.

      Bayangan ekspresi Luke hadir lagi dalam benakku. Dadaku semakin sakit.
      Tidak, tidak, dia Lukasz! Lukasz, that heartless playboy! Don’t let him confused you, Abigail.

      Is it that hard to believe me?

      Perasaanku terjerembap.
      Hatiku merapuh laksana perkamen-perkamen tua usang yang tak layak pakai. Hatiku yang tidak bisa kubaca. Hatiku yang segelap malam tanpa bintang dan bulan.
  
     Dear heart...
      What do I have to do?

***

Berapa hari yang telah berlalu tidak kuperhatikan. Aku hanya menjalani hari-hariku yang biasa, rutinitasku yang sama, tanpa ada lagi interupsi dari Lukasz. Hidupku yang sistematis tidak pernah lagi dikacaukan oleh probabilitas yang selalu dibawanya. Pagiku yang indah, damai, dan teratur tak pernah pula dikacaukan oleh bunyi gebrakan pintu kamarku. Tidak ada yang menyuruhku ke Ambrosia. Tidak ada yang menyuruhku untuk segera pulang. Tidak ada yang menyuruhku untuk tidak memusingkan tugas. Tidak ada lagi yang memainkan Moonlight Sonata.

      Is this what I’m truly looking for?

***

Aku dan Luke adalah magnet dengan masing-masing kutub yang berbeda. Kami menganut paham dan sistem yang berbeda, namun ajaibnya, kami tetap bersisian. Duniaku yang penuh rutinitas dan hierarki dengan dunianya yang penuh dengan probabilitas tanpa batas, tapi kami tetap bersisian. Kami memiliki kutub yang berbeda, apakah itu sebabnya kami selalu saling tarik-menarik, tak terpisahkan, seberapa jauh pun jarak yang membentang?

***

Suatu malam, entah telah berapa minggu berlalu, udara terasa begitu gerah. Aku pergi ke balkon kamarku yang menghadap kamar Luke. Aku tidak pernah bertemu lagi dengannya sejak saat itu, dan sejak saat itu aku merasa dia tidak tinggal lagi di kamar seberang sana. Tuh kan, lampu kamarnya mati lagi.
      Lukasz bego, rutukku sembari bersandar di kusen pintu, terduduk pasrah. Aku mengambil ponselku, mencari-cari namanya di daftar contact. Aku tinggal memencet saja, dan langsung, pasti terhubung padanya. Masalahnya adalah... aku tidak punya keberanian.
      Lukasz bego, bego, bego!
      ...
      Suara piano? Aku bangkit, bergerak cepat ke tepi balkon. Seketika pandangan mataku mengabur. Luke ada di sana, di kamarnya, jendela balkonnya terbuka, aku bisa melihatnya memainkan pianonya, nocturne in E flat-major milik Chopin. Lagu pengantar tidurku.
      Luke ada di sana.
      Sudah berapa lama sejak terakhir kali aku bertemu dengannya?
      Apakah dia sehat?
      Bagaimana pekerjaannya?
      Ada banyak... ada banyak sekali pertanyaan yang ingin kusampaikan padanya. Terlalu banyak, sampai rasanya tenggorokanku tercekat. Aku bertopang dagu di atas dinding balkon, memandanginya dan menunggunya selesai memainkan piano.
      Luke selesai. Untuk beberapa saat dia tidak bergerak dari balik pianonya, hanya menengadah, menatapku yang ada di seberang sini.
      Percayakah kamu mata sanggup mengutarakan kejujuran melebihi kata-kata?
      Namun adakalanya sesuatu tidak akan tergenapkan jika tidak diucapkan. Aku dan Luke sama-sama tahu, hanya dengan melihat mata kami masing-masing. Dia berdiri, menyeberangi kamarnya, ke luar menuju balkon. Ada jarak dua puluh meter membentang di antara kami, tetapi kami tetap berhadap-hadapan.
      Ponselku bergetar di saku.
      “Abigail.“
      “Luke.“
      Kami sama-sama berdiri tegak di balkon, dengan masing-masing ponsel kami menempel di telinga.
      “Kamu tau gak? Aku belum pernah patah hati seperti ini. Aku belum pernah merasakan kehilangan, Abigail, tidak. Sampai waktu kamu mengabaikanku.“
      “Luke, aku---“ baru aku mau berbicara, seperti biasanya dia selalu memotong perkataanku.
      “Let me tell you all first. Please listen to me.“
      Aku mengangguk.
      Dalam bola matanya saat ini, hanya ada aku. Begitu pula sebaliknya, dalam mataku, hanya ada dia.
      “Sebelum ini kamu sempat bertanya apa yang sebenarnya aku cari. Kamu benar, aku memang kesepian. I was looking for something yet I didn’t realize what it was. I wandered everywhere, tried to find it but I found it nowhere.

      Jeda sebentar.

      “That day, when I saw you collapsed... you would never know how scared I was. You reminded me about the accident when I shot you. I couldn’t think anything; I couldn’t do any single thing until you opened your eyes. I was frightened that I might end up losing you. You’d never know, Abigail... how grateful I was when you finally woke up.
    
   “Then you asked me what I was looking for. You told me that I was such a heartless jerk. By that time, I understood... you are what I’m looking for all of my life. You are my sunshine and moonlight, Abigail.
    
   Enough, Luke...

    “Aku tidak pernah sadar sebelumnya karena kamu selalu di sampingku. Apapun yang sudah aku lakukan, sejauh apapun aku pergi, aku tidak pernah sadar bahwa aku pasti akan kembali pulang. Padamu. Justru karena kamu selalu ada, aku malah tidak pernah sadar.

      Luke...

      “No wonder I was a heartless jerk. You’ve taken my heart away, Abigail.“

      “It’s enough, Luke.“

      “Enggak, aku gak mau diam! Aku belum selesai bicara.“

      Aku berbalik, masuk ke kamar.

      “Kamu harus dengar perkataanku sampai selesai, Abigail!“

      “Aku bilang cukup, Luke.“

      Kubanting pintu kamarku menutup.

      “Kamu gak boleh pergi, Abigail, aku belum selesai, please, listen.“

      “Luke.

      Aku menuruni tangga dengan cepat.

      “Aku gak mau kehilangan kamu lagi, tauk!“

      Aku berhenti di dasar anak tangga. Luke terengah-engah dan nampak panik, berdiri di seberang sana, di depan tangga menuju kamarnya di lantai dua.


      Aku memutuskan telepon, memasukkan ponselku ke saku. Luke melakukan hal yang sama.

      “Kamu gak tau aku parah, Abigail, sejak kamu diemin aku,“ Luke berjalan menyosongku. “Aku berusaha meyakinkan diri sendiri kalau aku hanya salah ngomong, berhalusinasi, berimajinasi, atau apa saja, tapi gak bisa! Aku gak bisa kalau kamu gak ada---

       
      “Don’t come near me.“

      
        Lukasz berhenti berjalan.


      “Why, Abigail?“ sorot mata Luke berubah. Seperti... tersiksa.


      “Are you sure about your feeling? Are you sure that it’s not just a sudden feeling---

 
     “No.“


      “---because, you know, there are lots of beautiful girls queueing outside, waiting for you---


      “Like hell I care.“


      ---or maybe you just panic and emotional, you couldn’t think properly---


      “No.“


      ---that actually you just afraid because you’ll gonna lose your... servant---


      “NO, Abigail!“ Luke meraung. “Don’t repeat the same gibberish!“


      Aku tidak bisa menjelaskan seperti apa caraku memandangnya sekarang, aku bahkan tidak tahu sedang membuat ekspresi seperti apa. Jarak yang membentang di antara kami akan habis cukup dengan beberapa langkah kaki, namun masing-masing kaki kami tidak beranjak.


      “Aku bukan siapa-siapa Luke,“ gumamku setelah berhasil menemukan suaraku. “Aku cuma temanmu sejak kecil, pelayan. Tidak lebih.“


      “Aku gak ada urusan sama pelayan, teman sejak kecil, atau apapun istilahnya. Yang kulihat selama ini adalah Abigail,“ sahutnya tegas. "It's about Lukasz and Abigail. About me and you."


      Suara Luke tegas sejak awal, sama sekali tidak ada tanda-tanda keraguan. Yang meragu itu... aku. Tanpa kusadari aku meremas jari-jariku, perasaanku campur-aduk.


      “Aku hanya ingin mendengar langsung darimu, Abigail...“ dia melanjutkan, “karena aku tidak bisa kalau kamu tidak ada. Aku parah. Aku kehilangan. Aku patah hati. I just... can’t. Without you.“


      Napasku terasa sesak.

  
    “Please believe me, Abigail. Aku nggak tahu harus bilang apa lagi, aku hanya ingin mendengar jawabanmu, itu saja. Aku nggak mau kehilangan orang yang benar-benar berharga buatku la---


      Aku memeluknya.


      Dia langsung membisu.


      “A... bi?“


      Aku tidak bisa berkata-kata. Aku tidak tahu harus memulai dari mana. Aku hanya diam dan memeluknya, berharap dia mengerti bahwa pelukan ini... bukan pelukan perpisahan.


      Lengan Luke perlahan melingkariku.


      Ada kesunyian mutlak melingkupi kami di sini.


      Yang terdengar hanyalah degupan jantung yang keras dan cepat.


      Degupan jantung Luke.


      Degupan jantungku.


      Jantung kami berdua.


      “I miss you, Luke. I’m really missing you.“


      Aku dan dia adalah kutub magnet yang berlawanan.


      Maka dari itu kami akan selalu saling tarik-menarik.


      Tak peduli seberapapun jauh jarak yang memisahkan.


      “We are no different,“ gumamku. “Aku gak pernah sadar apa yang aku cari, karena yang aku cari sudah ada sejak awal. Aku sudah pergi jauh mencari sesuatu yang sebenarnya dari awal tidak perlu dicari...“


      Aku melepaskan diri, menatap langsung ke dalam matanya yang jernih.


      “Karena aku sudah menemukannya.“


      Kami bertatapan, entah selama apa.


      “Aku kangen kamu, tauk,“ celetuk Lukasz.

     "I miss you. More. More than you can imagine."


      Pelan-pelan aku merasa wajahku memanas. Mataku mulai berkaca-kaca. Semua pertanyaanku yang sudah berhari-hari menyesakkan dadaku, langsung dijawab olehnya, bahkan tanpa perlu aku tanyakan.


      Ekspresi Luke menjadi sangat lembut, dia meraih wajahku, dengan kedua ibu jarinya dia menghapus titik-titik air mata yang mulai bermunculan di ujung mataku.


      “I won’t go anywhere, Abigail. I’ll be by your side.“


      “You know, Luke, you’ve taken my heart away since you shot me down. Literally.“


      Dia terkekeh. “Berarti kita sama, because you too have taken my heart away. Aku bahkan gak sadar sejak kapan.“


      Sejak awal, kami sudah ditempatkan bersama, saling bersisian, dengan kutub magnet yang berlawanan, agar kami tidak berpisah.


      Kami saling mencari tanpa menyadari bahwa sejak awal kami sudah saling menemukan.


      Dia menempelkan keningnya di keningku.


      “I love you.“


      Kami berkata bersamaan.
    







Erinda Moniaga ©
August 8 - 21, 2011
5.55 pm

Moonlight

[previous: Sunshine]




       “Abi, Abi, lihat nih, pistol punya Papa! Keren ya!“
      “Eemm, emm... keren, Luke. Keren.“
      “Main polisi-polisian yuk! Aku jadi polisi, kamu jadi penjahatnya.“
      “Eeeh? Nggak mau, Luke curang! Gantian dong, kan waktu itu aku yang jadi penjahatnya, masa aku lagi? Gantian! Gantian!“
      “Nggak bisa! Pokoknya aku harus jadi polisi!“
      “Nggak mau! Pokoknya aku!“
      “Abi cerewet ah! Aku tembak nih!“
      “Curang, curang! Lukasz cu¾
      DOR.
      Dan semuanya...


      Gelap.




      “Abigail?“
      Aku membuka mata. Ada Luke di sampingku.
      Yang tadi itu mimpi...?
    “Abigail, jangan bangun dulu,“ katanya, menahanku agar tidak bangkit dari kasur dengan lembut. “Syukurlah, kamu sudah sadar.“
      Aku menyipitkan mataku, berusaha mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Oke samar-samar aku ingat aku meninggalkan Luke di Starbucks tadi setelah meneriakinya dengan begitu keras. Kemudian... aku kembali ke kampus. Mulai dari sana aku merasa tidak enak badan, dadaku terasa sakit. Karena tidak kuat lama-lama di kampus, aku pulang. Aku ingat aku sampai di apartemen walaupun sedikit sempoyongan, tapi sesudah itu aku tidak ingat apa-apa lagi.
      “Abigail,“ aku menelengkan wajahku perlahan pada Lukasz. Aku menyadari tanganku digenggam olehnya. Betapa... kalut ekspresinya. “Abigail, kau membuatku ketakutan setengah mati.“
      Luke menempelkan tanganku yang lemas di keningnya sembari menarik dan mengembuskan napas dalam-dalam. “Maaf,“ bisikku.
     “Jangan, jangan minta maaf,“ dia menggeleng kuat-kuat. “Aku betul-betul takut jantungmu bermasalah. Tadi kamu kutemukan pingsan di depan tangga, aku sungguh-sungguh takut sudah terjadi sesuatu. Aku hampir menelepon ambulans, untung saja aku sadar kalau kamu cuma demam,“ Luke menurunkan tanganku kembali ke kasur, tapi tetap digenggam. “Aku takut, Abigail, aku kira jantungmu sakit.“
      “Luke,“ aku berusaha supaya tidak terdengar lemas, tapi tidak bisa, bahkan suaraku sedikit serak dan gemetaran, “Luke, jantungku tidak pernah bermasalah sejak operasi dulu. Tenanglah.“
      Tidak pernah sebelumnya aku melihat Luke dalam keadaan sekacau ini, “Abigail, maaf...“
      “Hei, Luke, kejadian itu sudah lama sekali. Lagipula waktu itu kamu masih bego belum ngerti apa-apa¾
      Genggamannya yang tiba-tiba menguat membungkam banjir perkataanku. Aku bisa melihat kegelisahan dan rasa bersalah yang tidak bisa dibendung dari cara Luke memandangku. Semua emosinya tumpah ruah akibat aku pingsan. Merupakan hal yang langka melihat Luke dalam keadaan seperti ini, tapi ya, aku bisa mengerti sudut pandangnya. Giliranku sekarang menarik napas dalam-dalam.
      “Luke,“ aku mencoba menenangkannya, “Luke, aku pingsan bukan akibat bekas luka tembak di jantungku. Aku baik-baik saja.“
      Dia tidak bersuara.

      Hanya menatapku.


      “Luke...“


      “Bekas jahitanmu sakit, Abigail?“
      “Nggak kok, Luke. Sepanjang ingatanku, sejak dua belas tahun yang lalu pun jahitan ini tidak pernah terasa sakit,“ dengan satu tanganku yang bebas aku meraba bekas jahitan di dadaku, tepat di atas jantung. “Santailah sedikit, aku kan cuma demam.“
      “Aku gak pernah lihat kamu pingsan, Abigail, selain waktu itu...“ ujarnya dengan mata menerawang. Aku yakin dia terbayang pada kejadian dua belas tahun lalu ketika senapan angin milik ayahnya yang dipakai bermain ternyata masih ada peluru, dan aku tertembak tanpa sengaja. “Waktu itu...“
      “Luke,“ potongku, “waktu itu ya waktu itu. Kita masih kecil waktu itu, mana tahu kalau senapan gituan berbahaya. Kita dulu cuma mikir mau main aja, padahal sudah dibilangin gak boleh kan ya?“ dia tidak menyahut. “Ah, kalau dihitung-hitung, sudah lama sekali ya kita berteman, Luke? Sudah hampir dua puluh tahun ya? Kamu dulu giginya bolong dua biji di depan, sudah gitu dulu kamu jorok banget, senengnya main sampe kotor...“
      “Maaf.“
      Eh?
      Aku berhenti bicara. Luke menatapku lurus-lurus saat mengatakan maaf, dia sungguh-sungguh.
      “Maaf dulu aku menembakmu. Membuatmu berdarah. Membuatmu pingsan. Membuatmu kesakitan. Membuatmu memiliki bekas jahitan jelek. Maafkan aku.“
      ...
      “Hei, Luke,“ aku melepaskan tanganku dari genggamannya, kuletakkan di kepalanya, kuacak-acak rambutnya, “aku tahu kamu tidak bermaksud menembakku dulu. Itu kecelakaan. Sudah lewat, sudah selesai. Kan yang penting aku masih hidup, masih di sini, puji Tuhan.“
      Luke meraih tanganku lagi, ada senyum kelegaan tergaris di bibirnya, “Terima kasih, Abigail.“
      DEG. Jantungku mengentak sekali dengan sangat keras. Spontan aku menekan daerah tepat di atas jantungku. Ada apa ini?
      “Abigail?“ ekspresi Luke berubah panik. Aku diam, menunggu dan memastikan. Detik demi detik berlalu, tapi tidak terjadi apa-apa.
      “Gak ada apa-apa, Luke,“ kataku, “mungkin tadi perasaanku aja.“
      Tampang Luke masih tidak yakin, tapi dia menerima jawabanku. “Ngomong-ngomong, kamu lapar gak, Abigail?“
      Ketika Luke bertanya, aku baru menyadari bahwa aku tidak berada di kamarku. Kamar dengan interior yang begitu maskulin, sebagian besar perabot berwarna biru, ranjang seukuran king-size super empuk yang sedang kutiduri, dan dinding-dinding yang dipenuhi deretan foto-foto berbagai jenis terpajang; ini jelas bukan kamarku.
      Ini kamar Luke.
      “Kok aku bisa di kamarmu?“ aku malas berteriak-teriak. “Kok aku gak dibawa ke kamarku aja?“
      “Aku baru mau pergi kencan tadi sore. Persis pas aku lagi buka pintu kamarku, aku lihat kamu di bawah. Jalanmu sudah sempoyongan, belum sampai di tangga tiba-tiba kamu pingsan. Aku langsung lari ke bawah. Di keadaan terjepit begitu, mana inget aku di mana aku taruh kunci kamarmu. Ya makanya aku bawa kamu ke kamarku,“ jelasnya.
      Oh, begitu. Aku manggut-manggut. Eh, tunggu dulu, tadi dia bilang kencan? “Trus kencanmu gimana? Jangan bilang gak jadi!“
      Luke sudah setengah berdiri. “Ah. Aku lupa bilang sama dia,“ dia terlihat santai sekali.
      “Eh?? Sana cepet telepon Felicia! Nanti dia marah lho!“
      Luke mengernyit, memutar bola matanya, lalu berjalan meninggalkanku menuju dapur. “Itu bisa nanti tak jelasin. Kamu lebih penting, Abigail.“
      “Aku gak mau tanggung jawab lho kalau kalian putus. Sana telepon dia.“
      Suaranya menggema dari dapur. “Urusan nantilah itu.“
      “Padahal nanti ujung-ujungnya kalau kalian putus, kamu bakalan curhat lagi ke aku, mungkin malah nanti bilang kalau gara-gara aku sakit, kencan kalian batal trus jadinya kalian putus. Kalian kan baru jadian, ayolah, Luke, mending kamu telepon aja dan jelasin¾
      “Abigail, kamu berisik deh,“ selanya. Dia berdiri di sisi kasur seraya membawa baki berisi segelas air putih dan sebuah mangkuk. Aroma masakan yang harum serta mengundang selera menguar di udara. Aku membetulkan posisiku, bersandar dengan bantal sementara Luke menaruh bakinya. “Sekarang yang penting kamu makan, gak usah musingin yang lain. Makan, minum obat, trus tidur.“
      “Besok aku ada tugas.“
      “Makan, minum obat, trus tidur, Abigail.“
      Aku menghela napas. Ya sudahlah. Kulirik mangkuk yang ada di atas baki. Isinya bubur Manado. Aku meraih sendoknya, namun sebelum makan aku berdoa.
      “Kamu gak makan?“ tanyaku pada Luke setelah aku selesai berdoa.
      “Aku gampang. Nanti. Yang penting kamu, Abigail.“
      Oke, aku gak bisa bilang apa-apa lagi. Aku diam dan mulai makan buburnya. Astaga, sudah sekian lama sejak aku makan masakan Luke. Cowok cuek yang suka seenaknya dan kelihatan gak bisa apa-apa ini sebenarnya sangat pintar memasak. Bubur Manado buatannya ini sangat enak, baik dari segi kematangan ataupun rasa. Kekentalan air pas, tingkat kematangan sayur dan ubi pas, tidak terlalu keras tapi juga tidak terlalu lembek, rasa asinnya pas. Sempurna.
      Aku kadang suka bertanya-tanya dalam hati, kalau dia mampu memasak dengan rasa yang luar biasa, lantas kenapa setiap pagi selalu minta makanan ke kamarku? Yah, palingan juga dia malas repot-repot memasak...
      “Enak gak?“ bisiknya dari sisiku. Dia terlihat benar-benar menunggu jawabanku, matanya bersinar-sinar. Aku mengangguk sambil nyengir. “Bagus deh. Pokoknya harus habis lho.“
      “Iya, iya.“
      Malam ini aku tidur dengan sangat tenang. Luke memainkan sebuah lagu untukku dengan pianonya, Nocturne in E flat major, opus 9 no.2 karya Frederic Chopin.
     
         Jujur saja...

      Aku tidak pernah tahu, hanya dengan mendengar dentingan piano Luke, aku bisa tertidur senyenyak ini.

***

      Alisku berkedut-kedut. Mataku rasanya berat sekali. Seluruh badanku terasa lemas, tidak bertenaga. Kepalaku juga rasanya masih melayang-layang. Perasaan yang sangat kompleks sekali, coba bayangkan, otakku terasa ringan melayang sedangkan mataku begitu berat bahkan hanya sekadar untuk membuka barang sedetik, namun tubuhku tak berdaya. Apa orang yang sedang sakaw juga begini?
      Aku merasa ada gerakan samar di dekatku. Kupaksakan mata yang berat ini untuk membuka.
      “Morning, Sunshine.“
   “Luke,“ aku mengerjap-ngerjapkan mata, berupaya mengumpulkan nyawaku yang berceceran. “Jam berapa ini?“
   Dia duduk di ujung kasur. Dugaanku, dia baru saja merapikan selimutku yang tersingkap. Aku kadang-kadang suka tidak sadar gaya tidurku seperti apa. Aku mengucek-ngucek mata. Kesadaranku belum juga terkumpul, payah. Aku belum pernah mabuk, tapi mungkin rasanya mirip, minus sakit kepala.
      “Sekarang jam sepuluh, Sunshine. Kamu mau sarapan atau ganti baju dulu? Aku ambilkan air panas ya, supaya kamu bisa cuci muka,“ dia berdiri tanpa menimbulkan bunyi derit di kasur. “Ah, jangan bangun dulu, demammu belum turun.“
      “Jam sepuluh ya...“ aku menggaruk-garuk leherku, lalu menguap, “lumayan juga aku tidur, kayaknya sudah lama aku nggak pernah tidur selama---jam SEPULUH?“ teriakku, hampir mencelat dari kasur.
      “Aku bilang jangan bangun, Sunshine,“ suaranya terdengar menggema dari kamar mandi. Aku menurut, tumben. “Sebaiknya kamu ganti baju dulu, trus sarapan. Kamu mau makan apa?“
      Aku memang menurut untuk tidak bangun dari kasur, tapi aku tidak bisa berhenti meracau, “Astaga, aku tadi tidak sempat melihat matahari terbit! Aku melewatkan waktu semediku! Aku belum buat tugas!“
      Luke muncul, membawa waskom dan handuk kecil di satu tangan dan satu stel piyama di tangan yang lain. “Abigail,“ gumamnya sambil terkekeh, “kamu ini lagi sakit. Jangan pikirin rutinitas semedimu, jam kuliah, kerjaan, atau tugasmu. Kamu perlu istirahat,“ diletakkannya waskom itu di bangku kayu di sisi kasur, sementara bajunya tak jauh dari sisiku.
      “Mana bisa begitu!“ aku membantah.
      Tiba-tiba si bego ini nampak tidak sabar, “Abigail, kalau kamu berisik begini terus, lama-lama aku yang ngelap badanmu!“
      Memangnya apa korelasi antara aku tidak mau diam dengan dia yang mengelap badanku??!! Sialnya, wajahku spontan memerah. “Dasar mesum! Iya, iya, oke, oke, aku diam! Keluar sana, keluar!“
      Luke tertawa, riang sekali. Sialan!
      “Mestinya dari tadi. Cepetan ya ngelapnya, awas kalau lebih dari lima menit, nanti aku intip,“ dia berkata begitu sambil berjalan menuju pintu. Sempat-sempatnya dia mengedipkan mata. Astaga.
      Aku buru-buru mengambil handuk. Secepatnya, sebelum Luke kembali dan mengejekku habis-habisan.

***

      Kosodorkan baki dengan piring dan gelas kosong itu pada Luke, yang menerimanya dengan tampang puas. Aku sudah menuruti segala perintahnya mulai dari mengelap badan dengan air hangat, ganti baju, sarapan, minum susu, dan minum obat. Aku benar-benar merasa sangat tidak berdaya, itu sangat menyebalkan. Biasanya aku yang mengurus si bego ini, sungguh terasa aneh karena sekarang yang terjadi adalah dia yang mengurusku, dengan baik pula. Sekarang aku tenggelam dalam piyamanya yang kebesaran, berbaring di kasur lagi seperti bayi. Pathetic.
      “Aku gak percaya kamu bisa mengurus orang dengan baik,“ aku menyuarakan pendapatku. “Kamu Tuan Muda-nya, mestinya aku yang¾
      “Cut that master-maid-relation-thing out, Abigail,“ selanya cepat. Satu hal tentang Luke, dia sering sekali memotong perkataan orang. “How did actually you see me all of these times? Only as your young master?“
      Aku tertegun. Pertanyaan itu bersinggungan keras dengan ambiguitas. Aku menatapnya, berusaha mencari tanda-tanda bahwa pertanyaan tadi hanya bercanda.
      Belum sempat aku menjawab, dia mendekat, merapikan selimutku. “Istirahat ya. Aku harus pergi sebentar.“
      Tak ada senyum santai terukir di wajahnya. Sungguh, terkadang aku bisa sangat tidak mengerti dia, padahal di satu sisi aku selalu merasa akulah yang paling mengenalnya. Akulah yang paling mengetahui betapa kami sangat berlawanan, betapa sistemku dan sistemnya jauh berbeda, seperti dua kutub magnet yang berbeda.
      “Mau ke mana?“
      Luke sudah sampai di pintu keluar.
      “Ketemu Felicia, mau jelasin kejadian yang kemarin.“
      Pintu sudah terbuka, dan dia sudah setengah jalan ke luar.
      “Jangan lama-lama perginya ya.“
      Dia menoleh dan tersenyum hangat.
      “Tidurlah, Abigail.“
      ...
      Sial.

***

Aku bersandar pada sofa pelan-pelan, terbungkus dalam selimut tebal, kekenyangan. Kulirik jam yang ada di dinding, pukul delapan malam. Luke sedang memotong buah-buahan di dapur, acara makan malamku ternyata belum selesai, padahal perutku rasanya sudah penuh sekali.
      Ngomong-ngomong...
      Tadi sore dia sepertinya benar-benar pulang lebih awal karena ketika aku bangun pukul empat sore, dia sudah duduk manis di sampingku, dengan tenang membaca komik. Aku ingin sekali bertanya tentang Felicia, tapi rasa kantuk yang kuat mengalahkanku dan aku kembali jatuh tertidur, baru terbangun pukul enam sore. Dengan cekatan dia menyiapkan air hangat untukku, lalu mengambilkan baju dari kamarku. Dia membuatkan makan malam yang sangat luar biasa enak, sehingga akibatnya aku terdampar di sini, di sofanya dengan perut membuncit.
      “Nih, Moonlight,“ dia kembali, membawa piring yang berisi potongan-potongan buah pir dan apel. “Kamu kok duduk di bawah sih?“
      “Lantainya kan pakai parqueete, gak dingin. Aku juga sudah pakai selimut. Dan aku sudah gak panas lagi.“
      Luke menaruh piringnya di meja di depanku kemudian ikut duduk di bawah, di sampingku. “Mana coba,“ katanya, mendekat, menyingkap poniku, menempelkan keningnya di keningku.
      Jantungku mulai berdetak keras.
      Please, gak lucu, ini kan Luke.
      Aku membeku, tidak bisa bergerak.
      Wajahnya. Dekat. Sekali.
      Terlalu. Dekat.
      “Iya, Moonlight, kamu memang sudah gak panas lagi,“ katanya, melepaskan keningnya yang tadi menempel. “Hmm? Kok wajahmu merah? Masa suhu badanmu tiba-tiba naik lagi sih?“ aku sepenuh hati berharap supaya dia tidak lagi menempelkan keningnya, dan syukurlah sekarang dia menggunakan tangannya untuk mengecek. “Gak panas kok. Aneh. Ya sudah, sekarang kamu makan buahnya.“
      Kukunyah apel dan pirnya lambat-lambat, seraya mencari kesempatan yang tepat untuk bertanya soal Felicia. Sedari tadi wajahnya nampak gembira, jadi asumsiku hubungannya dengan si cewek baik-baik saja. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, aku tidak pernah benar-benar melihat Luke patah hati. Tidak pernah sekalipun. Bahkan dengan cewek pemegang rekor terlama yang menjadi pacarnya selama dua bulan, si... si... siapa ya namanya, kok tiba-tiba aku lupa...
      “Moonlight, aku putus.“
      Perenunganku mencari nama mantan pacarnya langsung terhenti.
      “Apa?“
      “Aku putus.“
  Aku menoleh, mencari-cari jejak kesedihan dalam sepasang matanya, yang tidak kutemukan. Ini gara-gara aku...
      “Maaf.“
      “Bukan salahmu.“
    “Tapi tetep aja, kalau aku gak sakit, kencanmu gak akan batal dan kamu gak bakal putus.“
      “Gak ada hubungannya, Moonlight.“
      “Kenapa kamu bilang gak ada hubungannya? Jelas ada.“
      “Lalu apa hubungannya?“
   Saat mengucapkan kalimat terakhir, baru Luke berpaling menatapku. Oooh, dia nantangin nih? Pertemanan kami sejak kecil, sejak kami lahir, mungkin akan dipertaruhkan malam ini. Ini waktu yang tepat untuk berdiskusi tentang segalanya dengannya, dia tidak akan bisa kabur. Selama ini dia dengan lihai selalu menghindar menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Aku juga tidak berani melanjutkan mendebat, aku takut konsekuensinya. Tapi sekarang tidak lagi. Mau dia marah kek, mau apa kek, bodo amat! Hajar!
      Kurapatkan selimut, ancang-ancang untuk pertahanan.
      Hell-o, I am the one who makes you break up with your girlfriend, remember? ‘Cause I’m sick, you gotta stay and look after me. Bet she’s mad at me, apparently she’s jealous! Can’t you see it?“
      “How funny, Moonlight. I’ve told her you are my bestfriend. How could I leave my bestfriend in such a condition?“
      “Some girls can’t accept the idea of friendship between boys and girls, Luke. For them, it is an absolute nonsense.“
      “Well, it can’t be helped since it’s not nonsense for me. You are my bestfriend. If she can’t accept it, it’s totally fine with me, which means we’re done. I can go look for another girl.“
      “What are you looking for actually, Luke?“
      “My criteria is complex.“
      “Wow, I’m scared. How complex?“
      “You know, Moonlight, I can’t stand this stupid chatter of yours a minute longer.“
      “And you know, Luke, you’re sounded like a granny.“

      Kami sama-sama kehabisan napas tapi mata kami tidak beralih. Pembicaraan ini belum selesai, bung!
      “Kamu kenapa sih, Abigail?“
      Aku menggerakkan kepalaku ke kiri dan kanan dengan bola mata mengarah ke atas, menyatakan ketidaksabaranku. “Luke, kamu gak sedih?“
      Tanpa kuduga dia mengempaskan seluruh badannya ke belakang, kepalanya terkulai di atas sofa, menengadah. Sepertinya pertanyaanku telah... mengguncang sistemnya?
      “... aku gak tau.“
      “Setelah sekian banyak cewek,“ aku memilih kata-kataku, “setelah sekian banyak hati yang patah, kamu masih belum ketemu apa yang kamu cari?“
      Luke memejamkan matanya. Lima detik kemudian dia menggeleng.
      “I feel empty.“
      “It’s not an excuse for you to go pick any girls you want then make them fill your emptiness. But when you feel they don’t... worth, you just simply dump them, as if they don’t have heart, like you.“
      Ups, aku keceplosan. Oke, aku sudah siap seandainya sekarang dia akan memaki-maki aku.
      “Abigail,“ Luke membuka matanya yang terpejam, “you’re right.“
      Kejutan nomor dua. Ini benar-benar membuatku kaget, malam ini sudah untuk yang kedua kalinya Luke menyetujui perkataanku. Tingkah aneh Luke membuatku jadi tidak enak hati, padahal aku kan memang berencana untuk menasihati dan menyadarkannya! Konyol sekali aku ini! Aku merapatkan selimutku lagi, mencari perlindungan.
      “You are lonely.“
      Luke tidak mengiyakan ataupun membantah pernyataan terakhirku. Kedua tangannya bertaut, memeluk kakinya yang sebelah kanan, sama sekali tidak mengacuhkanku, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aku pikir akan lebih baik meninggalkannya sendirian di sini, supaya kata-kataku meresap dalam sistem pikirannya, seperti bumbu yang meresap ke dalam daging. Baru aku mau berdiri, tanganku ditahan oleh Luke.
      “Jangan pergi.“
      Pada saat ini baru aku melihat kilau kesedihan dalam matanya.
      “Kamu bilang mau pergi kan waktu di Starbucks? Jangan, Abigail. Please. I beg you.“
      Di sofa ini kami duduk bersisian, masing-masing dari kami adalah kutub magnet yang berbeda. Kami menganut paham dan sistem yang berbeda, namun ajaibnya, kami tetap bersisian. Duniaku yang penuh rutinitas dan hierarki dengan dunianya yang penuh dengan probabilitas tanpa batas, tapi kami tetap bersisian.
      “What about you, Abigail?“ cetusnya, out of the blue.
      “Me what?“
      ‘What are you looking for?“
      Oh.
      Giliranku yang mati kutu.
      “I... I still haven’t found what I’m looking for...“ ujarku mengambang laksana balon helium milik anak-anak yang hanya ditahan oleh seuntai tali tipis, penuh keraguan.
   “What exactly are you looking for?“ tegasnya. “Kamu cantik, Abigail, pintar, rajin berorganisasi, dan populer. Pernah gak kamu sadar kalau kamu populer?“
      Sumpah, semua yang diucapkan olehnya tadi sangat tidak masuk akal.
      “Yang populer itu kamu, Luke, dan masalah itu beda dengan yang kita omongin sejak tadi.“
      Luke menggeleng-geleng penuh arti, gesturnya seolah-olah mengatakan betapa aku ini tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi.
      “You are lonely, Abigail. We are no different. We both are lonely.“
      Aku melongo sejenak.
      “Tunggu dulu, yang menjadi objek pembicaraan kita sekarang itu kamu, Luke. Bukan aku! Kok jadi aku keseret-seret sih?“
      “Gantian dong, masa dari tadi aku doang yang diserang?“
      Ugh, yang dia bilang memang benar.
      “Luke, I’ve said I still haven’t found what I’m looking for, okay? Enough said. Lagian, misalkan aku benar populer, gak pernah tuh ada cowok yang mau ngedeketin aku.“
      “Soalnya kamu selalu keliatan sibuk sama dirimu sendiri,“ sahutnya kalem. “Kamu gak pernah keliatan tertarik sama cowok.“
      “Well, it can’t be helped. Lots of works to do. Nah, kita pake perandaian aja nih. Misalkan kamu, Luke. Kamu aja gak pernah ngedeketin aku.“
      “You think so?
      “Huh?
   Luke berdiri, berjalan menuju pianonya. Aku tidak mengerti maksud kalimat terakhirnya. Apa? Kenapa dia menggiringku ke pembicaraan ini? Judul pembicaraan hari ini mestinya aku menyadarkan dia dari sifat playboy-nya, dan dia bertobat, lalu kembali jalan yang benar, ke sisi Felicia. Aku ini selama-lamanya hanya akan jadi sahabatnya, pelayannya, tidak lebih.

      We are no different. We both are lonely.

      You are lonely, Abigail.

      Am I lonely?

      Lamunanku diinterupsi oleh permainan piano Luke. Moonlight Sonata lagi. Luke selalu memainkan lagu ini ketika bersamaku.
      What are you looking for, Abigail? What exactly are you looking for?

    Pertanyaan yang tadi dilemparkan Luke bergaung di kepalaku. Apa, kenapa aku ini? Why do I take it so seriously?
      Dentingan piano Luke terus mengalir. First movement selesai, memasuki second movement. Suara-suara itu berkelebat.

      Please. I beg you.
      ...
      Jangan, Abigail.
      ...
      Jangan pergi.
      ...
     
   Irama riang dari second movement berhenti. Third movement ini, permainan Luke pada third movement ini begitu menggelora laksana ombak yang bergulung-gulung di samudra raya.

     How did actually you see me all of these times? Only as your young master?
      ...
      Abigail, kamu berisik.
      ...
      Enak gak? Harus habis lho.
      ...
      Aku gampang. Nanti. Yang penting kamu, Abigail.
      ...
      Itu bisa nanti tak jelasin. Kamu lebih penting, Abigail.
      ...
      Maafkan aku.
      ...
      Abigail, kau membuatku ketakutan setengah mati.
      ...
      Kamu... kamu mau pergi?
     
      Dan berakhirlah Moonlight Sonata.

      Kesadaran menghantamku telak, dan rasanya aku terempas di atas ring sedingin salju.

      You think so?
     
      Luke memandangku dari balik pianonya dengan tatapan penuh kesedihan yang sama kulihat di Starbucks. “How do you see me after all of these times, Abigail?“
      Ada tekanan dalam pertanyaannya. Pikiranku seakan-akan baru saja terbuka dan tersadar.
      “Kamu bercanda kan?“ bisikku, gugup. “You’re not saying that¾
      “You can’t believe me?“
      “But, I am your only bestfriend!“ aku tertawa, gugup dan gemetar. “Kamu mau curhat ke mana lagi kalo bukan sama aku? Cut it out, Luke. Come on. Kita sudah temenan dua puluh tahun, aku gak mau jadi hancur cuma gara-gara¾
      “Cuma kamu bilang, Abi?“ ada kesedihan pada warna suaranya, pandangannya padaku penuh dengan rasa kepedihan yang tidak terperi. “Is it that hard to believe me?
      “I’m not the one who can fill your emptiness!
      Kulempar selimutku, berlari ke arah pintu keluar. Aku berlari seperti kesetanan, aku buru-buru menyeberangi jalan setapak menuju bangunan kamar apartemenku. Aku tidak ingat bagaimana bisa aku masuk ke dalam, mengunci pintunya, dan merosot pelan ke lantai.
      Ini mustahil.

      Mustahil.

      Aku menekan dadaku, bekas jahitanku, keras-keras.
   
   “Jangan pergi.“

      Itu Luke. Entah kenapa aku bisa merasakan tangannya yang menempel di sisi lain pintuku. Berusaha meraih tapi tak sampai, berbatas sekelumit ruang waktu.
  
    Jantungku berdentum-dentum di rongga dadaku, rasanya seperti mau meledak.








[continue to: Never Knew I Needed]